BAB
1
Pendahuluan
:
Bisnis
dan Etika dalam Dunia Modern
1.
Bisnis modern merupakan realistas yang
yang amat kompleks. Banyak faktor yang mempengaruhi dan menentukan kegiatan
bisnis. Guna menjelaskan kekhususan aspek etis ini, dalam suatu pendekatan
pertama kita membandingkan dulu dengan aspek-aspek lain, terutama aspek ekonomi
dan hukum. Sebab, bisnis sebagai kegiatan social dapat disoroti sekurang
kurangnya dari tiga sudut pandang yang berbeda tetapi tidak selalu mungkin
dipisahkan ini : sudut pandang ekonomi, hokum, dan etika.
1.1. Sudut
pandang ekonomis
Bisnis adalah kegiatan ekonomis
Yang terjadi dalam kegiatan ini adalah tukar-menukar, jual-beli,
memproduksimemasarkan, bekerja-memperkerjakan, dan bertinteraksi dengan orang
lain lainnya, dengan maksud memperoleh untung. Dipandang dari sudut ekonomis,
good bussines atau bisnis yang baik adalah bisnis yang membawa banyak untung.
Orang bisnis selalu akan berusaha membuat bisnis yang baik (dalam arti itu).
1.2. Sudut
pandang moral
Disamping aspek ekonomi dari
bisnis, di sini tampak aspek lain : aspek moral. Selalu ada kendala etis bagi
perilaku kita, termasuk juga perilaku ekonomis. Tidak semuanya bisa kita
lakukan untuk mengejar tujuan kita (di bidang bisnis : mencari keuntungan)
boleh kita lakukan juga. Kita harus menghormati kepentingan dan hak orang lain.
Bisnis yang baik (good bussines) bukan saja bisnis yang baik secara moral .
1.3. Sudut
pandang hukum
Tidak diragukan, bisnis terikat
juga oleh hukum. “Hukum dagang” atau “Hukum bisnis” merupakan cabang penting
dari ilmu hukum modern. Dari segi norma, hukum lebih jelas dan pasti dibandingkan
etika. Karena hukum dituliskan hitam atas putih dan ada sanksi tertentu, bila
terjadi pelanggaran. Hukum dan etika kerap kali tidak bisa dilepaskan satu sama
lain. Memang benar, ada hal-hal yang diatur oleh hukum tidak mempunyai hubungan
langsung dengan etika. Tetapi ada juga ada perilaku dalam segi moral penting,
tetapi tidak diatur menurut hukum.
Untuk bisnis, sudut pandang hukum
tentupenting. Bisnis harus menaati hukum dan peraturan yang berlaku. “Bisnis
yang baik” antara lain berarti juga bisnis yang patuh pada hukum. Disamping
hukum, kita membutuhkan etika juga. Kita memerlukan norma moral yang menetapkan
apa yang etis dan tidak etis untuk dilakukan. Pada taraf normatif etika mendahului hukum. Jika secara moral
suatu perilaku ternyata salah, kemungkinan besar (walaupun tidak pasti)
perilaku itu melanggar hukum juga.
1.4. Tolak
ukur untuk tiga sudut pandang ini
Dapat disimpulkan, supaya patut
disebut good bussines, tingkah laku
bisnis harus memenuhi syarat-syarat dari semua sudut pandang tadi. Memang benar
bisnis yang ekonomis tidak baik (jadi, tidak membawa untung) tidak pantas
disebut bisnis yang baik. Bisnis tidak pantas disebut good bussines kalau tidak
baik dari sudut pandang etika dan hukum juga. Dalam hal ini penting aspek hukum
lebih mudah diterima, sekurang-kurang pada taraf teoritis (walaupundalam
praktek barangkali sering dilanggar).
2.
Apa itu Etika Bisnis
-
Etika sebagai praksis berarti : apa yang
dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral.
-
Etika sebagai refleksi adalah pemikiran
moral. Dalam etika sebagai refleksi kita berpikir tentang apa yang dilakukan
dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
-
Etika adalah cabang filsafat yang
mempelajari baik buruknya manusia. Karena itu etika dalam arti ini disebut juga
“filsafat parktis”.
Seperti
etika terapan pada umumnya, etika bisnis pun dapat dijalankan pada tiga taraf :
taraf makro, meso dan mikro. Tiga taraf ini berkaitan dengan tiga kemungkinan
yang berbeda untuk menjalankan kegitan ekonomi dan bisnis.
-
Pada taraf makro, etika bisnis
mempelajari aspek-aspek moral dari sistem ekonomi sebagai keseluruhan.
-
Pada taraf meso (madya atau menengah),
etika bisnis menyelidiki masalah etis di bidang organisasi. Organisasi di sini
terutama berarti perusahaan, tapi bisa juga serikat buruh, lembaga konsumen,
perhimpunan profesi dan lain-lain.
-
Pada taraf mikro, yang difokuskan adalah
individu dalam hubungan dengan ekonomi atau bisnis. Di sini dipelajari tanggung
jawab etis dari karyawan dan majikan, bawahan dan manajer, produsen dan
konsumen, pemasok dan investor.
3.
Perkembangan etika bisnis
Sepanjang sejarah, kegiatan
perdaganga atau bisnis tidak pernah luput dari sorotan etika. Namun demikian,
jika kita menyimak etika bisnis sebagaimana dipahami dan dipraktekkan sekarang,
tidak bisa disangkal juga, di sini kita menghadapi suatu fenomena baru. Belum
pernah dalam sejarah, etika bisnis mendapat perhatian besar intensif seperti
sekarang ini.
Etika bisnis dalam arti khusus ini
pertama kali timbul di Amerika Serikat dalam tahun 1970-an dan agak cepat
meluas ke kawasan dunia lain.
4.
Profil etika bisnis dewasa ini
Kini etika bisnis sudah mempunyai
status ilmiah yang serius. Ia semakin diterima di antara ilmu-ilmu yang sudah
mapan dan memiliki ciri-ciri yang biasanya menandai sebuah ilmu.
5.
Faktor sejarah dan budaya dalam etika
bisnis
Jika mempelajari sejarah, dan
khusunya dunia barat, sikap positif ini tidak selamanya menandai pandangan
terhadap bisnis. Sebaliknya, berabad-abad lamanya terdapat tedensi yang cukup
kuat memandang bisnis atau perdagangan sebagai kegiatan yang tidak pantas
dilakukan bagi manusia beradab. Orang seperti pedagang jelas-jelas dicurigakan
kualitas etisnya. Sikap negative ini berlangsung terus sampai zaman modern dan baru
menghilang seluruhnya sekitar waktu industrial.
6.
Kritik atas etika bisnis
6.1. Etika
bisnis mendiskriminasi
Kritik pertama kali ini lebih
menarik karena sumbernya daripada isinya. Sumbernya adalah Peter Drucker, ahli
ternama dalam bidang teori manajemen. Tuduhan Drucker tidak beralasan.
Sekali-kali tidak benar bahwa etika bisnis memperlakukan bisnis dengan cara
lain ordinary folk (orang biasa).
Kritiknya berasal dari salah paham besar terhadap maksud etika bisnis. Justru
karena orang bisnis merupakan ordinary
folk (orang biasa). Justru orang bisnis merupakan ordinary folk, mereka memerlukan etika. Sebagaimana semua orang
lain, para pebisnis merupakan pelaku moral.
Etika bisnis menjadi suatu ilmu
dengan identitas tersendiri, bukan karena norma-norma yang tidak berlaku di
bidang lain, melainkan karena aplikasi norma-norma yang umum atas suatu wilayah
kegiatan manusiawi yang minta perhatian khusus, sebab keadaannya dan
masalah-masalahnya mempunyai corak tersendiri.
6.2. Etika
bisnis itu kontradiktif
Kritik lain tidak berasal dari satu
orang, tetapi ditemukan dalam kalangan popular yang cukup luas. Sebenarnya
bukan kritik, melainkan skepsis. Orang-orang ini menilai etika bisnis sebagai
suatu usaha yang naïf.
6.3. Etika
bisnis tidak praktis
Tidak ada kritik atas etika bisnis
yang menimbulkan begitu banyak rekasi seperti artikel yang dimuat dalam Harvard Business Review pada tahun 1993
dengan judul “What’s the matter with business ethics?”. Pengarangnya adalah
Adrew Stark, seorang dosen manajemen di Universitas Toronto, Kanada. Ia
menilai, kesenjangan besar menganga antara etika bisnis akademis dan para
professional di bidang manajemen.
6.4. Etikawan
tidak bisa mengambil alih tanggung jawab
Kritikan lain lagi dilontarkan
kepada etika terapan pada umumnya, termasuk juga etika bisnis, di samping etika
biomedis, etika jurnalistik, etika profesi hukum dan lain-lain. Kritisi
meragukan entah etika bisnis memiliki keahlian etis khusus, yang tidak dimiliki
oleh para pebisnis dan manajer itu sendiri.
Seluruh kritikan ini juga
berdasarkan salah pahan. Etika bisnis sama sekali tidak bermaksud mengambil
alih tanggung jawab etis pebisnis, para manajer, atau pelaku moral lain di
bidang bisnis. Etika bisnis bisa membantu untuk mengambil keputusan moral yang
dapat dipertanggungjawabkan, tapi tidak berniat mengambil tempat dari para
pelaku moral dalam perusahaan.
BAB 2
Sekilas Teori Etika
Etika bisnis adalah penerapan
prinsip-prinsip etika yang umum pada wilayah pelaku manusia yang khusus, yaitu
kegiatan ekonomi dan bisnis. Secara konkret etika sering terfokuskan pada
perbuatan. Bisa dikatakan juga bahwa teori etika membantu kita untuk menilai
keputusan etis.
Akan tetapi, setiap penguraian macam ini
terbentur pada kesulitan bahwa kenyataanya pada teori etika. Di sini akan
dibahas secara singkat beberapa teori yang dewasa ini paling penting dalam
pemikiran moral, khususnya dalam etika bisnis.
1.
Utilitarisme
“Utilitarisme” berasal dari kata Latin
utilis yang berarti “bermanfaat”.
Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi
manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat
sebagai keseluruhan. Dapat dipahami pula utilarisme sangat menekankan
pentingnya konsekuensi perbuatan dalam menilai baik buruknya suatu perbuatan.
Kita dapat menyimpulkan bahwa utilitarisme
aturan membatasi diri dari pada justifikasi aturan-aturan moral. Dengan
demikian mereka memang dapat menghindari kesulitan dari utilitarisme perbuatan.
2.
Deontologi
Istilah Deontologi (deontology) ini berasal dari kata Yunani
deon yang berarti kewajiban. Maka
deontology melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensi perbuatan.
Utilitarisme mementingkan konsekuensi perbuatan, sedangkan deontology
konsekuensi perbuatan tidak berperan sama sekali.
3.
Teori Hak
Dalam pemikiran moral dewasa ini
barangkali teori hak ini adalah pendekatan yang paling banyak dipakai untuk
mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku. Sebetulnya teori hak
merupakan suatu aspek dari teori dentiologi, karena berkaitan dengan kewajiban.
4.
Teori keutumaan
Apa yang dimaksud dengan
keutamaan?keutamaan bisa didefinisikan sebagai berikut: diposisi watak yang
telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik
secara moral. Ada banyak keutamaan dan semua keutamaan dan semua keutamaan
untuk setiap orang dan untuk setiap kegiatan. Diantara keutamaan yang harus menandai
pebisnis perorangan bisa disebut: kejujuran, fairness, kepercayaan, dan keuletan.
Kejujuran secara umum diakui
sebagai keutamaan pertama dan paling penting yang harus dimiliki oleh pelaku
bisnis. Orang yang mempunyai keutamaan kejujuran tidak akan berbohong atau
menipu dalam transaksi bisnis, bahkan kalau penipuan sebenarnya gampang. Perlu
diakui, tentang keutamaan kejujuran kadang-kadang ada kesulitan juga. Garis
perbatasan antara kejujuran dan ketidakjujuran tidak selalu bisa ditarik dengan
tajam.
Keutamaan kedua adalah fairness. Kata inggris ini sulit
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kerap kali diberi terjemahan
“keadilan” dan memang fairness dekat dengan paham “keadilan” tapi tidak sama
juga. Barangkali terjemahan yang tidak terlalu meleset adalah: sikap wajar.
Fairness adalah kesediaan untuk memberikan apa yang wajar kepada semua orang
dengan semeua orang dan dengan “wajar” dimaksudkan apa yang bisa disetujui oleh
semua orang yang terlibat dalam suatu transaksi.
Kepercayaan (trust) juga adalah keutamaan yang pentng dalam konteks bisnis. Kepercayaan
harus ditempatkan dalam relasi timbale balik. Ada beberapa cara untuk
mengamankan kepercayaan. Salah satu cara ialah member garansi atau jaminan.
Keutamaan keempat adalah keuletan
(Solomon menggunakan kata toughness). Pebisnis harus bertahan dalam banyak
situasi yang sulit. Ia harus sanggup mengadakan negosiasi yang terkadang seru
tentang proyek atau transaksi yang bernilai besar. Ia harus berani juga
mengambil risiko kecil ataupun besar, karena perkembangan banyak faktor tidak
bisa diramalkan sebelumnya.
Kelompok keutamaan lain menandai
orang bisnis pada taraf perusahaan. Dengan kata lain, keutamaan-keutamaan ini
dimiliki manajer dan karyawan sejauh mereka mewakili perusahaan. Keempat
keutamaan ini adalah: keramahan, loyalitas, kehormatan, dan rasa malu.
Keutamaan sebenarnya lebih cocok
untuk digambarkan secara konkret daripada diuraikan pada taraf teoritis. Dalam
filsafat dewasa ini dikenal pendekatan yang sering disebut “naratif”. Artinya,
kebenaran filosofis yang mau dibicarakan, tidak diuraikan secara teoretis,
melainkan dikisahkan dalam suatu contoh atau kasus konkret. Dibandingkan dengan
teori-teori lain, teori keutamaan mempunyai kelebihan lagi, karena memungkinkan
untuk mengembangkan penilaian etis yang lebih etis. Teori-teori yang didasarkan
atas aturan, pada umumnya cenderung menilai perbuatan-perbuatan dari segi
negative, artinya mereka terutama menyoroti yang tidak etis.
BAB
III
EKONOMI
DAN KEADILAN
- Hakikat
keadilan
Keadilan
dapat diartikan sebagai to give everybody
his own (memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya).
Ciri
khas keadilan :
a.
Keadilan tertuju pada orang lain
b.
Keadilan harus ditegakkan atau dilaksanakan
c.
Keadilan menuntut persamaan (equality)
- Pembagian
keadilan
Pembagian
keadilan menurut Thomas Aquinas (1225-1274) yang mendasarkan pandangan
filosofisnya atas pemikiran Aristoteles (384-322 SM) disebut juga pembagian klasik, membedakan
keadilan menjadi :
a.
Keadilan Umum (general justice) : berdasarkan keadilan ini para anggota
masyarakat diwajibkan untuk memberi kepada masyarakat (negara) apa yang menjadi
haknya.
b.
Keadilan Distributif (distributive justice): berdasarkan
keadilan ini negara (pemerintah) harus membahi segalanya ddengan cara yang sama
kepada para anggota masyarakat.
c.
Keadilan Komutatif (commutative justice)
: berdasarkan keadilan ini setiap orang harus memberikan kepada orang lain apa
yang menjadi haknya.
Pembagian
keadilan yang dikemukakan oleh pengarang modern tentang etika bisnis, khususnya
John Boatright dan Manuel Velasquez dapat dibedakan menjadi :
a.
Keadilan Distributif (distributive Justice)
b.
Keadilan Retributif (retributive justice) : berkaitan dengan
terjadinya kesalahan
c.
Keadilan Kompensatoris (compensatory justice) : berdasarkan
keadilan ini orang mempunyai kewajiban moral untuk memberikan kompensasi atau
ganti rugi kepada orang atau instansi yang dirugikan
Disamping
pembagian tersebut, keadilan juga dapat dibedakan menjadi keadilan sosial dan
keadilan individu
- Keadilan
distributif pada khususnya
Dalam
teori etika modern, ada dua macam prinsip untuk keadilan distributif, yaitu :
prinsip formal dan prinsip material. Prinnsip formal yang dirumuskan dalam
bahasa Inggris berbunyi “equals ought to be treated equally and unequals may be
treated unequals”. Yang dapat diartikan bahwa kasus-kasus yang sama harus
diperlakukan dengan cara yang sama, sedangkan kasus-kasus yang tidak sama boleh
saja diperlakukan dengan cara yg tidak sama. Sedangkan prinsip material
menunjukkan kepada salah satu aspek relevan yang bisa menjadi dasar untuk
membagi dengan adil hal-hal yang dicari oleh berbagai orang. Beauchamp dan
Bowie menyebut enam prinsip keadilan distributif terwujud apabila diberikan
kepada setiap oraang dengan syarat :
a.
Bagian yang sama
b.
Sesuai dengan kebutuhan individualnya
c.
Sesuai dengan haknya
d.
Sesuai dengan usaha individualnya
e.
Sesuai dengan kontribusinya kepada
masyarakat
f.
Sesuai dengan jasanya
Berdasarkan
prinsip material tersebut, telah dibentuk beberapa teori keadilan distributif.
Antara lain :
a.
Teori egalitariasme (membagi dengan adil
berarti membagi rata)
b.
Teori sosialistis (membagi adil sesuai
dengan kebutuhan individualnya)
c.
Teori liberalistis
BAB 4
Liberalisme dan Sosialisme sebagai
Perjuangan Moral
1.
Tinjuan historis
1.1. John
Locke dan milik pribadi
John Locke (1623-1704), seorang
filsuf inggris yang banyak mendalami masalah-masalah social politik, secara
umum diakui sebagai orang yang pertama kali mendasarkan teori liberalisme
tentang milik. Menurut Locke, manusia mempunyai tiga “hak kodrat: (natural
right): “life, freedom, and property”.
Yang penting adalaha hak atas milik karena keidupan dan kebebasan kita miliki
juga. Jadi, hak atas milik menyedia pola untuk memahami kedua hak lain juga.
Argumentasinya mempengaruhi secara mendalam pemikiran tentang milik di kemudian
hari.
Dalam pandangan Locke ini, sudah
tampak beberapa cirri kapitalisme liberal yang dengan tegas akan ditolak oleh
Karl Marx. Pertama, Locke mengandaikan begitu saja bahwa pekerjaan pun harus
diukur atas dasar nilai tukarnya, artinya sebagai komoditas pasaran. Kedua,
Locke mengandaikan juga bahwa hasil kerja karyawan menjadi milik sah dari
pemilik tanah atau pemilik sarana produksi.
1.2. Adam
Smith dan pasar bebas
Tokoh lain yang pantas dibahas
dalam rangka liberalism adalah orang Skotlandia, Adam Smith (1723-1790). Adam
Smith menjadi terkenal karena dengan gigih membela pasar brbas di bidang
ekonomi. Adam Smith tentu bukan filsuf pertama yang membedakan antara
kepentingan-diri dan egoisme, tapi ia melihat pentingnya khusus untuk
relasi-relasi ekonomis. Kepentingan diri merupakan motIvasi utama yang
mendorong kita untuk mengadakan kegiatan ekonomis.
Kegiatan ekonomis di pasar bukan
saja menguntungkan bagi pihak-pihak yang langsung terlibat di dalamnya, tetapi
bermanfaat juga untuk masyarakat sebagai keseluruhan. Smith menekankan bahwa
dengan mengejar kepentingan diri masing-masing dalam sistem pasar para anggota
masyarakat mewujudkan kesejahteraan umum yang paling besar.
1.3. Marxisme
dan kritiknya atas milik pribadi
Yang dimaksud dengan marxisme
adalah pemikiran Karl Marx (1818-1882) bersama dengan teman seperjuangannya,
Friedrich Engels (1820-1895). Marxisme adalah ajaran social-ekonomis-politik yang
sangat kompleks dan tidak mudah untuk disingkatkan tanpa mengorbankan cukup
banyak unsure yang sebenarnya hakiki juga. Bisa dikatakan juga marxisme menolak
pemilikan pribadi atas capital atau modal, sebab yang memiliki capital dengan
sendirinya memilki juga sarana-sarana produksi. Ciri kapitalisme yang jelek
adalah bahwa mereka memperkerjakan orang lain untuk memperkaya diri sendiri.
Menurut Marxisme, lembaga pribadi pada dasarnya merupakan penindasan atau
eksploitasi kaum pekerja. Di sini dengan jelas tampak inspirasi etis dari
marxisme. Tujuannya bukan menghapus milik pribadi begitu saja, melainkan secara
radikal menentang penindasan atau eksploitasi yang berasal dari pemilikan
eksklusif atas sarana-sarana produksi. Menurut mereka, cara pemilikan itu harus
diganti dengan sistem milik kolektif.
2.
Pertentangan dan perdamaian antara
liberalism dan sosialisme
2.1. Liberalisme
Inti pemikiran liberalism adalah
tekanannya pada pada kebebasan individual (liber
Lat.=bebas). Tugas pokok Negara menurut pandangan liberalism secara klasik
dilukiskan sebagai nighwatch state, “Negara jaga malam”, karena Negara hanya
membatasi diri pada perlindungan dan pengamanan para warga Negara.
2.2. Sosialisme
“Sosialisme” berasal dari kata
Latin socius yang berarti “teman”
atau “kawan”. Sosialisme memandang manusia sebagai makhluk social sebagai
sesame yang hidup bersama orang lain. Liberalisme lebih cenderung melihat
manusia sebagai individu yang mempunyai kebebasan masing-masing. Masyarakat
yang diatur secara liberalism ditandai egoism, sedangkan masyarakat yang diatur
secara sosialistis atau kesetiakawanan.
a. Sosialisme
komunistis
Sosialisme komunistis atau
komunisme (communis Lat.=bersama) menolak
milik pribadi. Menurut mereka, milik harus menjadi milik bersama atau milik
kolektif. Tetai, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Karl Marx tidak menolak
semua milik pribadi. Marx dan pengikut-pengikutnya membedakan antara pemilikan
barang konsumsi dan pemilikan sarana-sarana produksi. Barang konsumsi adalah
barang yang dipakai oleh seseorang bersama dengan keluarganya, seperti rumah,
kendaraan, fasilitas olah raga, koleksi buku dan lain sebagainya. Yang tidak
boleh menjadi milik pribadi adalah sarana-sarana produksi, seperti pabrik.
b. Sosialisme
demokratis
Sosialisme demokratis juga
menempatkan masyarakat di atas individu. Tetapi berbeda dengan komunisme,
mereka tidak bersedia mengorbankan sistem pemerintahan demokratis yang mereka
anggap sebagai sebuah perolehan modern yang sangat berharga.
2.3. Kekuatan
dan kelemahan
Kekuatan lliberalisme adalah bahwa
milik pribadi diakui sebagai cara penting untuk mewujudkan kebebasan pribadi.
Tetapi liberalisme juga mempunyai kelemahan. Kelemahannya yang utama adalah
bahwa mereka kurang memperhatikan nasib kaum miskin dan orang kurang beruntung
dalam perjuangan hidup, seperti kaum buruh dalam masyarakat berindustri.
Kekuatan Sosialisme adalah mereka
menemukan dimensi transindividual dari milik. Milik selalu mempunyai suatu
fungsi social dan tidak boleh dibatasi pada kepentingan pribadi saja.Tetapi,
sosialisme mempunyai juga kelemahan dan kelemahan itu terasa cukup besar,
bahkan menjadi fatal untuk sistem pemerintahan sosialistis. Ekonomi yang
direncakan dengan ketat dari atas ternyata tidak bisa berhasil.
3.
Kapitalisme dan demokratisasi
Demokratisasi dalam ekonomi
dijalankan secara kapitalistis di Negara-negara industry Barat merupakan
fenomena yang sangat menarik. Pertama, sistem pemerintahan demokratis berhasil
mengoreksi beberapa ekses kapitalisme. Kedua, antagonism antara kelas-kelas
seperti dimengerti marxisme, dalam sistem pemerintahan demokratis cukup
teratasi. Kaum pekerja tidak lagi berpolarisasi dengan kau majikan karena
mereka menyadari mempunyai banyak kepentingan bersama. Ketiga, fenomena yang
barangkali menarik adalah pemilikan sarana
produksi yang semakin merata.
4.
Etika pasar bebas
Pandangan Gauthier yang pernah
mengemukakan pendapat bahwa pasar tidak membutuhkan moralitas. Pasar sempurna
dimaksudkan pasar di mana kompetisi berjalan dengan sempurna. Pada kenyataanya,
proses-proses di pasaran selalu disertai macam-macam kegagalan dan kekurangan.
Namun demikian, sistem pasar bebas yang bisa dijalankan sekarang tetap
merupakan sistem ekonomi yang paling unggul. Pentingnya etika dalam semuanya
ini terutama tampak dari dua segi. Pertama dari segi keadilan social, supaya
kepada semua peserta dalam kompetisi di pasar diberikan kesempatan yang sama.
Kedua, dalam konteks pasar bebas etika sangat dibutuhkan sebagai jaminan agar
kompetisi berjalan dengan baik dari sudut moral. Semua peserta dalam pasar
bebas harus berlaku dengan fair.
BAB 5
Keuntungan Sebagai Tujuan
Perusahaan
Kuntungan termasuk definisi bisnis.
Sebab, apa itu bisnis? Frngan cara sederhana atapi cuup jelas, bisnis sering
dilakukan sebagai “to provide product or
sevices for profit”. Tidak bisa dikatakan juga bahwa setiap kegiatan
ekonomis menghasilkan keuntungan. Keuntungan atau profit baru muncul dengan kegiatan ekonomi yang memakai sistem
keuntungan. Profit selalu berkaitan dengan kegiatan ekonomi, dimana kedua belah
pihak menggunakan uang.
Karena hubungan dengan uang itu,
perolehan profit secara khusus
berlangsung dalam konteks kapitalisme. Keterkeikatan dengan keuntungan itu
merupakan suatu alas an khusus mengapa bisnis selalu ekstra rawan dari sudut
pandang etika. Tentu saja, organisasi yang non for profit pun pasti sewakt
waktu berurusan dengan etika.
1.
Maksimalisasi keuntungan sebagai
cita-cita kapitalisme liberal
Profit
maximimization atau maksimalisasi keuntungan merupakan
tema penting dalam ilmu manajemen ekonomi. Kalau memaksimalkan keuntungan
menjadi satu-satunya tujuan
perusahaan, dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Jika
keuntungan menjadi satu-satunya tujuan itu, semua karyawan dikerahkan dan
dimanfatkan demi tercapainya tujuan itu, termasuk juga karyawan yang bekerja
dalam perusahaan. Akan tetapi memperalat karyawan karena alasan apa saja
berarti tidak menghormati mereka sebagai manusia. Studi sejarah menunjukan
bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan usaha ekonomi memang bisa membawa
akibat kurang etis.
2.
Masalah pekerja anak
Tidak perlu diragukan, pekerja yang
dilakukan oleh anak (child labor) merupakan topic dengan banyak implikasi etis,
tetai masalah ini sekaligus juga sangat kompleks, karena faktor-faktor ekonomis
di sini dengan dengan aneka macam cara bercampur baur dengan faktor-faktor
budaya dan social.
Dalam Convention on the Right of the Child yang diterima dalam siding
umum PBB pada 1989 siserahkan pada masing-masing Negara anggota
untuk”menetapkan usia minimum atau usia rata-rata minimum untuk dapat memasuki
lapangan kerja” [Pasal 32,2(a)].
Yang dianggap pekerjaan yang
dilakukan anak dianggap tidak etis karena pertama, adalah pekerjaan itu
melanggar hak para anak. Anak itu belum dewasa karena itu harus diperlakukan
begitu pula. Karena belum dewasa, seorang anak juga belum bebas atau sanggup
menjalankan kebebasannya. Lagipula, anak yang bekerja tidak mendapat pendidikan
di sekolah dan karena itu mereka dirugikan untuk seumur hidup. Oleh sebab itu
pekerjaan yang dilakukan oleh anak melangar juga hak anak, karena
mengekploitasi tenaga mereka.
Alasan kedua menegaskan bahwa
memperkejakan anak merupakan cara berbisnis yang tidak fair. Sebab, dengan
cara itu pebisnis berusaha menekan biaya
produksi dan dengan melibatkan diri dalam kompetisi kurang fair terhadap rekan-rekan pebisnis yang tidak mau menggunakan
tenaga anak, karena menganggap hal itu cara berproduksi yang tidak etis.
Bagaimana cara kita mengatasi
masalah tersebut? Yang pertama: kesadaran dan aksi dari pihak public konsumen.
kedua adalah kode etik yang dibuat dan ditegakkan juga oleh perusahaan dimana
antara lain ditegaskan bahwa perusahaan tidak akan mengijinkan produknya dibuat
dengan memanfaatkan tenaga anak di bawah umur. Yang ketiha melengkapi garmen
atau produk lain dengan No Sweat Label,
yang menjamin produk itu tidak dibuat dengan menggunakan tenaga anaka atau
dengan kondisi kerja yang tidak pantas.
3.
Relativasi keuntungan
Tidak bisa disangkal, pertimbangan
etis mau tidak mau membatasi peranan keuntungan dalam bisnis. Seandainya
keuntungan merupakan faktor satu-satunya yang menentukan sukses dalam bisnis,
perdagangan heroin, kokain, atau obat terlarang lainnya harus dianggap sebagai good business, karena sempat membawa
untung yang sangat banyak. Bisnis menjadi tidak etis, kalau perolehan untung
dimutlakkan dan segi moral dikesampingkan. Di satu pihak perlu diakui, bisnis
tanpa tujuan profit bukan bisnis lagi.
Dengan demikian dan banyak cara
lain lagi dapat dijelaskan relativitas keuntungan dalam usaha bisnis. Tetapi,
bagaimanapun juga, keuntungan dalam bisnis tetap perlu. Hanya tidak bisa
dikatakan lagi bahwa maksimalisasi keuntungan merupakan tujuan bisnis atau
profit merupakan satu-satunya tujuan bagi bisnis. Beberapa cara lain lagi untuk
melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis, sambil tidak mengabaikan
perlunya adalah sebagai berikut :
a. Keuntungan
merupak tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan atau efisiensi manajemen
dalam perusahaan;
b. Keuntungan
adalah pertanda yang menunjukaan bahwa produk atau jasanya dihargai oleh
masyarakat;
c. Keuntungan
dalah cambuk untuk meningkatkan usaha;
d. Keuntungan
merupakan syarat kelangsungan perusahaan;
e. Keuntungan
mengimbangi risiki dalam perusahaan.
4.
Manfaat bagi stakeholder
Yang dimaksud stakeholders adalah orang atau instansi yang berkepentingan dengan
suatu bisnis atau perusahaan. Dalam bahasa Indonesia kini sering dipakai
terjemahan “pihak yang berkepentingan” Stakeholder
adalah semua pihak yang berkepntingan yang berkepentingan dengan kegiatan suatu
perusahaan. Stockholder tentu
termasuk Stockholders.
Kadang-kadang stakeholders dbagi lagi atas pihak berkepentingan internal dan
eksternal. Pihak berkepentingan internal adalah “orang dalam” dari suatu
perusahaan: orang atau instansi yang secara langsung terlibat dalam kegiatan
perusahaan, seperti pemegang saham, manajer, dan karyawan. Pihak berkepentingan
eksternal adalah “orang luar” dari suatu perusahaan: orang yang tidak secara
langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti para konsumen, masyarakat,
pemerintah lingkungan hidup.
Paham stakeholders ini membuka perspektif baru untuk mendekati masalah
tujuan perusahaan. Kita bisa mengatakan bahwa tujuan perusahaan adalah manfaat
semua stakeholder.
KESIMPULAN
Seperti etika terapan
pada umumnya, etika bisnis pun dapat dijalankan pada tiga taraf : taraf makro,
meso dan mikro. Tiga taraf ini berkaitan dengan tiga kemungkinan yang berbeda
untuk menjalankan kegitan ekonomi dan bisnis.
-
Pada taraf makro, etika bisnis
mempelajari aspek-aspek moral dari sistem ekonomi sebagai keseluruhan.
-
Pada taraf meso (madya atau menengah),
etika bisnis menyelidiki masalah etis di bidang organisasi. Organisasi di sini
terutama berarti perusahaan, tapi bisa juga serikat buruh, lembaga konsumen,
perhimpunan profesi dan lain-lain.
-
Pada taraf mikro, yang difokuskan adalah
individu dalam hubungan dengan ekonomi atau bisnis. Di sini dipelajari tanggung
jawab etis dari karyawan dan majikan, bawahan dan manajer, produsen dan
konsumen, pemasok dan investor.
Jadi Etika
Bisnis adalah penerapan prinsip-prinsip
etika yang umum pada wilayah pelaku manusia yang khusus, yaitu kegiatan ekonomi
dan bisnis. Secara konkret etika sering terfokuskan pada perbuatan. Bisa
dikatakan juga bahwa teori etika membantu kita untuk menilai keputusan etis.
Memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi
haknya atau bisa disebut Keadilan yang mana dibagi:
a. Keadilan Umum (general justice) : berdasarkan keadilan ini para anggota
masyarakat diwajibkan untuk memberi kepada masyarakat (negara) apa yang menjadi
haknya.
b. Keadilan Distributif (distributive justice): berdasarkan keadilan ini negara
(pemerintah) harus membahi segalanya ddengan cara yang sama kepada para anggota
masyarakat.
c. Keadilan Komutatif (commutative justice) :
berdasarkan keadilan ini setiap orang harus memberikan kepada orang lain apa
yang menjadi haknya.
Liberalisme dan sosialisme yang merupakan awal
dari perjuangan moral bagi setiap individu maupun masyarakat dalam hal ini
kelompok, diharapkan semua individu maupun kelompok dapat beraktivitas secara maksimal dalam memenuhi kebutuhan
mereka masing- masing yang mana telah telah diatur undang-undangnya akan hal
itu.
sistem pasar bebas yang bisa dijalankan sekarang tetap merupakan sistem ekonomi
yang paling unggul. Pentingnya etika dalam semuanya ini terutama tampak dari
dua segi. Pertama dari segi keadilan social, supaya kepada semua peserta dalam
kompetisi di pasar diberikan kesempatan yang sama. Kedua, dalam konteks pasar
bebas etika sangat dibutuhkan sebagai jaminan agar kompetisi berjalan dengan
baik dari sudut moral. Semua peserta dalam pasar bebas harus berlaku dengan fair.
Profit atu keuntungan selalu berkaitan
dengan kegiatan ekonomi, dimana kedua belah pihak menggunakan uang.Karena
hubungan dengan uang itu, perolehan profit
secara khusus berlangsung dalam konteks kapitalisme. Keterkaitan dengan keuntungan itu merupakan
suatu alasan khusus mengapa bisnis selalu ekstra rawan dari sudut pandang etika dalam melakukan bisnis.